Jumat, 23 Maret 2012

Rajanya AC Cina

Anton masih terlelap di rumahnya di kawasan Jakarta Kota, tatkala air mulai menggenangi lantai dasar pusat pertokoan Mega Bekasi, Minggu dini hari silam. Makanya ia hanya bisa terduduk lemas ketika beberapa jam kemudian sejumlah barang elektronik yang tersimpan di tokonya sudah tak terlihat lagi. Barang-barang itu tenggelam dalam air yang keruh kecokelatan. Padahal, tadinya, toko kecil milik Anton begitu ramai oleh pembeli.
Tidak hanya toko milik Anton, sejumlah gerai elektronik lain di pusat perbelanjaan yang tenar dengan konter hipermarketnya, Giant, juga diserbu air bah. Sebelum terjadi banjir, Mega Bekasi memang bisa mewakili maraknya pasar elektronik nasional. Puluhan merek pun saling bersaing mendapatkan pembeli paling banyak. Di antara merek-merek itu, sejumlah merek asal Cina tampil mencuri perhatian. Yang terbaru adalah merek Haier. Maret ini, Haier akan tampil dengan sejumlah produk seperti pendingin ruangan, mesin cuci, atau lemari es.
Steffanus Agus, Presiden Direktur PT Maestronik Abdi Karya, (agen Haier di Indonesia), optimistis bahwa merek ini akan sanggup berbicara dalam belantika elektronik nasional. Soalnya, ya itu tadi, pasar elektronik di Indonesia memang sedang bergairah. Sepanjang tahun 2004 silam saja, menurut Sung Khiun, Ketua Klub Pemasar Elektronik (Electronic Marketers Club alias EMC), nilai pasar elektronik nasional mampu tumbuh sekitar 30%. Tahun ini, ada kemungkinan nilai pasar itu akan kembali terdongkrak hingga 10% atau 20% lagi.
Keyakinan Steffanus pun semakin tebal, mengingat Haier bukan merupakan merek abal-abal. Steffanus menegaskan bahwa Haier adalah produk dari Haier International. Perusahaan yang sudah berdiri sejak tahun 1984 itu memiliki nama besar di kawasan Cina Daratan. Saat ini, kata Steffanus, Haier sudah berhasil menjual produknya di 160 negara. Haier juga memiliki 13 pabrik di luar Cina, termasuk sebuah pabrik lemari es di Amerika Serikat. Artinya, Haier bukan seperti produk Cina lainnya yang acap memiliki kualitas rendah.
Bahkan menurut Steffanus, Haier adalah produk terbaik di Negeri Tirai Bambu itu. Pada tahun 2003 lalu, misalnya, Haier sukses membukukan pendapatan hingga US$ 8,5 juta untuk penjualan di pasar internasional. Selama ini, produk unggulan Haier masih peranti rumah tangga seperti lemari es dan pengatur suhu udara (AC).
Di Indonesia, Haier juga akan membuka pasar dengan produk AC-nya. Setelah itu, barulah produk kulkas dan mesin cuci yang akan menjajal keberuntungan. Pilihan tersebut kemungkinan didasarkan pada tingginya daya serap masyarakat atas produk-produk serupa tadi. Selama ini, kulkas memang sangat laris. Pada tahun 2003 lalu, penjualan peranti ini tercatat mencapai 1,22 juta unit. Dan pada tahun 2004, angkanya sudah melesat hingga 1,63 juta unit.
Selain kulkas, AC juga merupakan produk yang popular. Tahun silam, penjualan AC mencapai lebih dari 500 ribu unit. Tahun ini, ada dugaan bahwa orang-orang lebih suka jika suhu udara di rumahnya atau kamarnya lebih sejuk. Makanya, angka penjualan AC diperkirakan akan naik menjadi 670 ribu unit.
Namun, dengan mengusung produk-produk tadi, Haier akan berhadapan dengan sejumlah nama besar asal Jepang yang sudah beken di Tanah Air. Misalnya dengan Panasonic, yang sudah kadung dinyatakan sebagai rajanya AC. Atau Sharp yang andal dalam produk kulkasnya.
Meski demikian, Steffanus sepertinya tidak gentar. Soalnya, harga produk Haier sangat miring. Dibandingkan dengan AC buatan Jepang atau Korea, AC Haier memang lebih murah hingga 40%. Banderol kulkasnya pun lebih miring hingga 30%. Makanya, Steffanus pun rela menanamkan modal hingga US$ 500 ribu untuk usahanya ini. Ia yakin, dalam setahun, Haier bisa menciptakan omzet hingga US$ 5 juta (sekitar Rp 46 miliar).
BUKAN ANCAMAN SERIUS
Untuk ukuran Steffanus, angka tadi mungkin sudah sangat besar. Tapi, sebenarnya, nilai omzet tersebut tak seberapa jika dibandingkan dengan omzet pasar elektronik nasional yang diperkirakan lebih dari Rp 30 triliun.
Makanya, bagi pebisnis elektronik yang bermain dengan merek yang sudah mapan, kedatangan Haier sepertinya tak terlalu dianggap sebagai ancaman. Betul, Achmad Razaki, General Manager Marketing PT Panasonic Gobel, juga mengakui bahwa Haier sudah punya tempat lumayan di pasar internasional. Tapi, kalau bicara soal pasar lokal, merek itu jelas belum ada apa-apanya. ”Nanti kalau sudah dua tahun, baru bisa kita lihat sehebat apa Haier sebenarnya,” ujar Razaki.
Yang pasti, Razaki mengaku pede bahwa Panasonic tidak akan kelabakan menghadapi Haier. Toh produk asal Jepang itu sudah cukup lama bertengger di papan atas dalam persaingan barang elektronik di tingkat nasional. Tahun 2004 silam saja, pendapatan Panasonic Indonesia sudah mencapai Rp 1,8 triliun.
Optimisme yang sama juga dilontarkan Jino Sugianto, Marketing Manager PT Sharp Indonesia. Menurut Jino, selama produk asal Cina itu datang dengan jalur resmi, persaingan yang terjadi akan relatif sehat. Dalam situasi seperti itu, Sharp sama sekali tidak terancam.
Malah, tidak hanya pemain bermerek asal Jepang saja yang melontarkan keyakinan seperti itu. Munir Hasan Basri, Senior Manager PT Istana Argo Kencana (distributor tunggal produk elektronik merek Sanken yang buatan lokal), juga mengaku tidak cemas melihat pesaing-pesaingnya. Munir menegaskan bahwa mutu produk perusahaannya bisa diandalkan. Makanya sepanjang tahun silam, Sanken mampu meraih penjualan di atas Rp 250 miliar. Produk andalannya adalah mesin cuci (yang laku hingga 120 ribu unit) dan water dispenser (laku 10 ribu unit). Tak ayal, harga jual yang murahlah yang membuat Sanken mampu mencatatkan prestasi seperti itu.
Strategi menjual dengan harga murah jugalah yang membuat Yeane Keet, Direktur PT Denpoo Mandiri Indonesia (distributor merek Denpoo asal Cina), mengaku bisa membuat produknya menduduki posisi terhormat dalam penjualan di sejumlah hipermarket. ”Posisi kami, kalau tidak di top two, ya top three,” katanya.
Alhasil, makin ramailah persaingan di pasar elektronik saat ini. Sayang, keasyikan itu acap terganggu oleh tingginya tingkat penyelundupan barang elektronik di Indonesia. Chatib Basri, ekonom asal Universitas Indonesia, pernah menghitung bahwa nilai barang hasil selundupan itu bisa mencapai US$ 2 miliar dalam setahun. Untuk mengatasinya, kata Chatib, perlu ada penghapusan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) terhadap sejumlah barang elektronik. Soalnya, PPnBM yang tinggi acap membuat orang tergoda untuk mendatangkan barang lewat jalur belakang yang haram.
Selama ini, PPnBM baru dihapuskan pada pesawat televisi ukuran 21 inci. Namun, bisa jadi, PPnBM untuk produk lainnya juga akan dikurangi. Toh hal itu sudah masuk dalam rencana insentif pajak bagi pengusaha yang digagas Menko Perekonomian, Aburizal Bakrie.
Artinya, besar peluang bagi pasar elektronik untuk terus berkembang di tahun ini. Jadi, kalau saja masih ada modal dan tetap bermain di bisnis perdagangan barang elektronik, Anton yang tokonya kebanjiran tadi tentu masih punya peluang.
Sumber: Majalah Trust/Sektor Riil/24/2005-14/03/05 – http://www.majalahtrust.com/ekonomi/sektor_riil/863.php